Adil Ka Talino, Ba curamin Ka Saruga, Basengat Ka Jubata
(Adil terhadap sesama, Becermin ke Surga, Bernafas pada Tuhan)
Pontianak, 10 Maret 2013
Hasil dari Diskusi dalam 4 x rapat MADN Kalbar al :
1. BL Atan Palil
2. Drs. V. Julipin
3. Marselina Maryani Soeryamassoeka, S.Hut
4. Eusabinus Bunau, S.Pd, MSi
5. Drs. Laurentius Salem, MPd
6. Drs. Alber Rufinus, MA
7. DR. Clary Sada
8. Makarius Sintong, SH, MH
9. Frans DJ, S.Hut
Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) Kalbar mendesak Pemerintah Pusat cq Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI dan Pemprov. Kalbar serta Pemkab. Sanggau untuk mengkaji ulang rencana penempatan 4.000 KK transmigran di sepanjang perbatasan wilayah Kab. Sanggau dengan Malaysia.
Menurut MADN, pemerintah seharusnya terlebih dahulu mengevaluasi kondisi terkini daya dukung lahan dan kawasan hutan perbatasan Kalbar seluas 1.806.172 hektar (Kab. Sanggau seluas 143.804 hektar) :
- Jumlah penduduk perbatasan Kalbar sekitar 2,3 juta jiwa
- Jumlah penduduk Perbatasan Kab. Sanggau: Kec. Sekayam dan Kec. Entikong tahun 2011 sekitar 85.000 jiwa
- Keberadaan 7 perusahaan HPH/IUPHHK, 3 perusahaan IUHHK HT dan 5 perusahaan sawit yang ada.
- Perlu dievaluasi program transmigrasi yang pernah ada tahun 1986 di Sungai Dangin sebanyak 478 KK.
- Bahwa sebagian besar kawasan sepanjang perbatasan merupakan kawasan konservasi hutan lindung, hutan produksi terbatas, serta sebagian kecil area penggunaan lain.
- Rencana penempatan transmigrasi akan berdampak secara ekologis terhadap kawasan-kawasan tersebut
- Potensi perambahan hutan akan semakin besar, mengingat potensi kayunya memang masih sangat besar. Kerusakan ini juga akan berdampak pada masyarakatlokal yang telah secara turun temurun hidup di sekitar kawasan hutan dan mendapatkan manfaatnya.
- Bahwa tekanan terhadap besarnya daya dukung lahan akibat aktifitas manusia dengan penempatan 4000 kk transmigrasi, juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan atau lahan tersebut.
- Bahwa keberadaan masyarakat lokal sudah sangat terdesak dengan penggunaan lahan perkebunan kelapa sawit dan HTI pada kawasan areal penggunaan lain.
- Bahwa rencana kegiatan yang memerlukan ruang/wilayah seperti transmigrasi ini, selayaknyamemperhatikan pada pemanfaatan ruang yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah provinsi. - Kelestarian sumber daya alam, kekayaan budaya lokal serta kearifan lokal tidak mustahil akan tergerus dengan penempatan transmigrasi.
- Pemaksaan program pembangunan dengan pola Top Down selayaknya ditinggalkan dan memang sudah tidak boleh dilakukan. Pembangunan dengan pola Bottom Up akan lebih menyentuh dan menjawab persoalan real masyarakat.
- Kita semua sepakat bahwa pembangunan itu bertujuan untuk mensejahterakan serta berkesinambungan bukannya untuk merusak apalagi semakin memarjinalkan masyarakat lokal.
Jika kondisi terkini terkait sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sosial ekonomi dan budaya tersebut tidak dicermati secara benar, maka kebijakan top down yang cenderung memaksakan, dapat menimbulkan persoalan baru bagi eksistensi masyarakat adat dan kawasan perbatasan yang sudah kita sepakati bersama sebagai teras NKRI.
Berdasarkan kajian MADN, persentase persoalan yang utama di kawasan perbatasan Kalbar– Malaysia sepanjang 748 Km, terbesar adalah rendahnya dukungan pemerintah disektor pemberdayaan sumber daya alam seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan.
Kemudian menyusul rendahnya dukungan pemerintah disektor pemberdayaan sumber daya manusia seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sandang, pangan dan papan. Rendahnya dukungan pemerintah disektor pemberdayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia tersebut semakin diperparah lagi dengan sangat minimnya infrastruktur ekonomi seperti transportasi, komunikasi, informasi dan perbankan. Sehingga sampai saat ini cerminan kawasan perbatasan sebagai teras NKRI belum setara perlakuannya dengan teras perbatasan di wilayah Malaysia.
Sangat tidak relevan jika dalam menyikapi persoalan perbatasan, Pemerintah mengambil cara-cara yang justru akan memunculkan persoalan baru terkait dengan eksploitasi sumber daya alam dan marginalisasi masyarakat dayak di perbatasan. Apalagi rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Kalbar belum final.
Oleh karena itu MADN berharap pemerintah segera melakukan langkah-langkah perbaikan strategis khusus di Kab. Sanggau dan kawasan perbatasan lainnya di Kalbar saat ini dan sesegera mungkin, sebelum melakukan tindakan-tindakan yang antagonis provokatif yang dapat menimbulkan persepsi dan umpan balik yang dapat merugikan pemerintah dikemudian hari.
Prosperity vs Security belt
Menurut MADN, semua stakeholder sudah sepakat bahwa kawasan perbatasan adalah teras NKRI, tetapi dalam melakukan aksinya di lapangan ternyata ego sektoral dominan menonjol sehingga masyarakat pedalaman yang nota bene masyarakat Dayak akan terus tertekan dan selalu menjadi korban dari setiap kegiatan pembangunan.
Pandangan masa lalu (sebelum Indonesia merdeka dan masa orbe baru-red) yang memposisikan kawasan perbatasan sebagai security belt yang dalam kenyataannya hingga saat ini (sejak era reformasi-red) masih meninggalkan stereotype yang mendalam bagi marginalisasi masyarakat Dayak, hendaknya dipahami secara jernih dan bijaksana oleh penguasa/pemerintah.
Sudah banyak hasil kajian ilmuwan dari pelbagai disiplin ilmu dan instansi teknis lainnya yang merekomendasikan agar di “era damai” ini pemerintah mengedepankan pendekatan prosperity, social-security dan kesetaraan terhadap akses perekonomian masyarakat perbatasan.
Namun karena RTRWP Kalbar belum final dan pemaksaan program transmigrasi tersebut diduga akan berdampak pada daya dukung dan beban keseimbangan sumber daya alam dan ekosistem yang ada, maka harapan kegiatan pembangunan di perbatasan yang pro-rakyat, pro-poor dan pro-perbatasan akan semakin jauh panggang dari api.
Catatan : Hasil dari Diskusi ini dibuat Press Release dan sudah dilakukan Konfrensi Pers pada Tanggal 12 Maret 2013