Pontianak, 3 Maret 2011
Oleh : Marselina Maryani Soeryamassoeka
Dia bernama Devitha, cantik, berkulit halus, pemilik otak yang cerdas dan tubuh yang indah. Perempuan yang selalu tahu mengisi hari-harinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Pekerja keras dan mempunyai beragam aktivitas sosial. Si cantik ini juga piawai dalam dunia politik. Kalau dia sudah berorasi, yang mendengarkan akan terpana dan mengagumi kemampuannya. Dia merupakan perempuan multi talenta.
Dengan kemampuan yang beragam dimilikinya, sayang sekali, membuat Devitha menjadi sosok yang agak angkuh, terutama di hadapan suami dan keluarganya.
Dia mampu meraup rejeki dari Talenta yang dimilikinya itu, rejeki yang didapatnya sangat berlimpah, melebihi apa yang telah diraih suaminya. Karena itu Devitha semakin tinggi hati dan tak pernah mau menggubris perkataan atau saran dari suaminya. Sosok yang lembut dan penurut itu berubah menjadi perangai keras yang suka memaksakan kehendaknya sendiri. Devitha yang ayu sudah berubah menjadi wanita besi karena Harta dan Tahta. Popularitasnya membawa Devitha ke dalam lorong kesombongan dan menjadikannya manusia yang selalu bermegah diri.
Devitha menganggap tidak ada satupun di dunia ini yang bisa membuatnya terjungkal. Semakin hari ketinggian hatinya semakin meraja dalam hidupnya. Menoleh pada orang-orang tak mampu bukanlah sebuah ketulusan, namun hanya untuk menambah koleksi popularitasnya saja. Melakukan aksi bantuan terhadap sebuah musibah hanya untuk menambah daftar panjangnya untuk diacungkan jempol. Devitha sudah terbalut perban duniawi yang menyesatkan. Ketulusan, kebaikan dan kerendahan hati telah terkubur dalam liang kemunafikan hidup yang dijalaninya kini. Sering meremehkan orang-orang disekitarnya, suaminya sekalipun.
Sampai saatnya tiba, Tubuh indahnya telah hilang di grogoti kanker payudara, perempuan cerdas yang terkenal cantik dan sintal itu, kini hanya tinggal belulang, menanti ajal menjemputnya, ia lemah terbaring tak berdaya, hingar bingar aktivitasnya telah terganti sepi. Tiada kawan, tiada puja puji dari pengagumnya, tiada kerumunan wartawan yang hendak meliput popularitasnya. Kini, hanya sang suami yang selalu setia menemani di sisi pembaringannya sambil sesekali mengusap linangan airmatanya, suami yang pernah tak dianggapnya, suami yang pernah di remehkannya. Dalam hati, perempuan itu masih sempat memohon, Tuhan jika masih boleh, ijinkan aku untuk sekali lagi merasakan nikmatnya cinta suamiku.
Sesal yang tiada arti dan permintaan yang sia-sia itu hanyalah membuatnya tidak ikhlas untuk menempuh jalan baru yang terhampar di depannya. Memang setiap manusia mesti punya Harapan dan semangat untuk tetap hidup, namun berserahlah pada Tuhan dan jangan pernah menoleh dan menyesali apa yang sudah terlewati.
Dan suami yang ganteng dan menyayanginya selalu di peluknya dan tak ingin dilepaskannya lagi, setidaknya untuk menemaninya, menghilangkan ketakutan-ketakutan yang muncul dalam batinnya. Dia belum siap untuk bertemu dengan malaikat elmautnya.
Dalam pembaringan menunggu saatnya tiba tiap detiknya, Devitha masih mengenang saat-saat rutinitas menyelubungi kehidupannya, mengenang kecantikan yang tiada bandingnya telah mempesona setiap mata memandang, mengenang kecerdasannya yang tak dapat dibandingkan dengan perempuan lain, mengenang popularitas yang tak dimiliki setiap orang. Keselarasan antara cantik dan pintar serta tubuh yang indah adalah sesuatu keseimbangan yang langka.
Dan setiap mengenang semua kelebihan yang dimiliki dan telah dijalani dan didapatkannya, airmata meleleh membasahi sudut mata cekung yang tak berseri lagi.
Telah dicobanya melawan segala kelemahan karena serangan kanker, namun semua usaha yang dilakukan hanya sia-sia. Harta yang pernah bergelimang didapatkannya, harus hilang untuk mengusir kanker yang sudah menemaninya belasan tahun tanpa disadarinya. Aktivitas dan kelelahan yang puluhan tahun dijalaninya membuat ia tak merasakan sentuhan-sentuhan kanker di payudaranya. Kini Devitha hanya pasrah menunggu waktu itu tiba. Ketakutan akan kematian membuatnya gelisah, bayangan lorong gelap yang akan dilalui kelak menghantuinya hingga membuatnya sering menjerit tiba-tiba.
Dalam benaknya Devitha bertanya pada Tuhan, apakah dia akan masuk Surga, di mana letak Surga itu, dia tak ingin mati jika bukan Surga menjadi tempatnya nanti. Devitha memohon pada Tuhan untuk memberikan dia hidup sebentar saja, karena dia ingin hidup menjadi baik, rendah hati dan penuh dengan Iman supaya bisa masuk surga jika mati nanti.
Betapa bencinya Devitha akan tatapan kasihan para teman, kerabat dan sanak saudara yang membezuknya. Dia benci orang-orang melihat dia tergolek dibalut kelemahan dan tak berdaya karena pelukan kanker yang begitu kuat membelit di setiap dinding sel darahnya. Dan karena itu Devitha selalu menolak jika ada yang ingin membezuknya.
“Mas, aku tak ingin di bezuk siapapun, aku ingin hanya bersamamu dan anak-anak, aku butuh istirahat, aku butuh suasana sepi mas “ salah satu penolakan Devitha supaya suaminya tak mengijinkan lagi para kenalan yang ingin membezuk Devitha.
Dan demi ketenangan jiwa Devitha, Salman mengikuti keinginan istrinya itu, walaupun Salman tahu bukan itu alasan utamanya.
Salman selalu membelai kepala mungil yang sudah tak berambut lagi. Dengan sabar dia selalu berada di dekat Devitha, bernyanyi untuk istri yang telah dua puluh (20) tahun dinikahinya, berdoa bersama Devitha, membantu perawat membersihkan tubuh istri yang pernah terbaring indah di ranjang pengantin mereka. Dengan tulus Salman berharap ibu anak-anaknya ini masih dapat berkumpul kembali di istana yang pernah mereka bangun bersama.
Ketika Devitha sedang tidur atau tak sadarkan diri, betapa airmata Salman sering menetes melihat perempuan cantik yang sangat dikaguminya ini harus menderita lemah tak berdaya seperti dihadapannya kini. Setegar dan sekuat bagaimanapun manusia tak akan bisa mengalahkan maut jika sudah akan menjemput. Ini semua adalah Rahasia Sang Pencipta.
Dan Salman sebenarnya tak setegar seperti yang terlihat. Dadanya terasa sesak setiap kali melihat si jelitanya telah berubah kurus dan matanya yang lebar dan indah berubah menjadi cekung dan tak bercahaya. Hatinya menangis melihat sosok yang tegar harus terkulai tak berdaya di pembaringan dengan berbagai alat di sekitarnya. Dari pertama kali bertemu 27 tahun silam saat Devitha masuk ke kampusnya dan menjadi incaran kakak tingkatnya di kampus pada saat OPSPEK, Devitha sudah menunjukkan ketegarannya. Perempuan jelita dengan senyuman manisnya yang terlihat polos, penurut namun tegas dan tegar, tidak cengeng, selalu menjalani perintah-perintah para senior dengan apa adanya dan patuh. Perintah tersulit sekalipun akan dilaksanakannya dengan baik tanpa berkeluh kesah.
Dan ketika masa OPSPEK telah usai, tahun berganti dan mereka harus dipertemukan dalam Praktek lapangan bersama, disitulah jalinan kasih Salman dan Devitha untuk pertama kalinya terjadi. Salman merupakan senior 2 tahun di atas Devitha, karena Salman sering mengikuti kegiatan-kegiatan MAPALA mengakibatkan beberapa matakuliahnya harus diambil bersamaan dengan Devitha. Setahun setelah Praktek lapangan yang mempertemukan mereka, Salman di wisuda dan tahun berikutnya Devitha menyusul untuk di wisuda. Dua tahun setelah Devitha di wisuda mereka mengikrarkan percintaan mereka dalam wadah pernikahan. Betapa bahagianya Salman kala itu, dia bisa mengalahkan puluhan laki-laki di kampus mereka yang tertarik dengan Devitha.
Lima tahun pertama Devithanya masih merupakan perempuan jelita yang penurut, hormat dengan suami sebagai kepala rumah tangga, ramah dan tidak angkuh, tegas namun ada sisi lembutnya, sangat perduli dengan orang-orang yang lemah. Ketika itu mereka sudah dikaruniai 3 orang anak yaitu Sandra, Dimas dan Sonia, dan Salman semakin mencintai Devitha.
Ketika karir Salman semakin menanjak, karir Devitha juga semakin naik, bahkan setelah 12 tahun usia pernikahannya, penghasilan Devitha semakin meningkat dibarengi dengan popularitasnya yang semakin dikenal, apalagi 5 tahun belakangan ini Devitha mampu meraih kursi parlemen dan sangat vokal berdampak kepada pribadi Devitha yang menjadi congkak, angkuh dan bermegah diri. Seorang Devitha yang ayu dan berperangai menarik telah berubah. Dan perubahan itu mengaroma dalam rumah tangga mereka. Salman mulai merasakan ketidaknyamanan dalam rumah tangga mereka, bukan karena penghasilannya di bawah Devitha, tapi peran seorang ibu dan isteri sudah dilupakan Devitha. Ego Devitha menjadi berlebihan ketika Salman mulai menegur dan mengingatkannya. Egonya telah menutupi jaringan sel-sel pada otak Devitha untuk berpikir lebih cermat dan baik, yang ada hanya kemarahan setiap kali Devitha berada di rumah dan darahnya naik setiap kali harus bertatapan muka dengan suami yang pernah sangat dicintai dan mencintainya.
Kini setelah si jelita tak berdaya, Salman cuma bisa menahan perih setiap mengenang masa-masa indah mereka dulu. Betapa bahagianya kala itu, melumat bibir seorang perempuan sejelita Devitha yang sebelumnya tak pernah dibayangkannya.
Kala Devitha tertidur atau dia punya kesempatan sebentar untuk keluar dari ruang di mana Devitha di rawat, Salman menangisi keadaan yang sekarang dihadapinya, rasanya ia tak mampu mendengar senandung perpisahan sebentar lagi akan tiba. Salman tak kuasa harus berpisah dengan istri yang sangat dicintainya, walaupun darah Sang Istri pernah tercemar oleh Harta dan Tahta dan hampir memporakporandakan istana emas mereka, namun walau bagaimanapun dia adalah si jelitanya yang sangat dicintainya dan ibu dari anak-anaknya. Tak ingin Salman mengingat tahun-tahun terakhir di neraka bersama Devitha, dia hanya ingin mengingat Taman Firdaus mereka yang pernah di jalani bersama. Indah dan teramat indah.
Dan kini secara nyata melihat istri terkasih tak berdaya dihadapannya suara dalam hati Salman menjerit : “ Oh Tuhan, .... mengapa harus Devitha ku yang menderita seperti ini, mengapa bukan aku saja yang mengalami penderitaan ini, ..... aku tak sanggup melihatnya dalam kerapuhan dan kesakitan seperti ini. ...... Devithaku ibu dari anak-anakku yang masih membutuhkannya Tuhan.
Lewatkanlah Piala Duka cita ini dari keluaraga kami Tuhan, sembuhkanlah Devithaku “
Hanya jeritan-jeritan di hati yang menggema ke dalam tubuh Salman, jeritan tersebut bertumpuk dan keluar menjadi airmata ketika Salman sedang sendiri. Begitu perih dan sedih luarbiasa yang dialaminya. Hanya airmata yang bisa melonggarkan sedikit sesak yang meraja di dadanya selama Devitha menderita sakit.
Inilah lingkaran kehidupan, berputar mengelilingi nafas hidup, kadang di atas dan akan berganti di bawah. Hari ini kita mampu berjalan dan berlari mengelilingi dunia, namun kita tak akan pernah tahu hari esok yang akan dijalani. Kita tak kan pernah tahu apakah esok kita masih dapat melihat Sang Fajar merona di pagi hari dan rembulan menerangi gulitanya bumi di malam hari.
Untuk itu setiap IMAM mengingatkan kita untuk dapat mempersiapkan diri sebelum saatnya tiba untuk menghadap Sang Khalik. Perbanyak berbuat kebaikan dan hidup dengan Rendah Hati, karena semua hal duniawi yang melekat pada diri kita akan sirna ketika ajal telah menjemput. Kita hanya akan menjadi sejarah, yang mungkin akan dikenang sebagian manusia yang masih tersisa, atau bahkan dilupakan untuk selamanya.
Namun saat nafas hidup masih berhembus pada paru-paru, kita selalu lupa bahwa kehidupan ini hanya sementara sifatnya. Hidup manusia takkan abadi, akan tergantikan dengan detik-detik yang terus berganti. Ketika kita masih dapat berjalan, masih dapat bernafas dengan baik, masih dapat melakukan rutinitas aktivitas, kita lupa akan Iman, kita terlalu banyak melakukan kecerobohan, hingga badanpun terkadang tak pernah kita pikirkan, kita sering tak peduli dengan kesehatan yang harus kita pehatikan, jika merasakan sakitpun terkadang kita tak serius menanggapinya. Kita lebih memilih sesuatu yang di rasa membuat bahagia, seperti hura-hura, memforsir tubuh hingga lelah yang teramat sangat.
Ketika saatnya telah tiba, saat tubuh sudah menyerah pada penyakit berat yang kurang di perhatikan awalnya, maka kebugaran dan kegagahan akan sirna menjadi lemah tak berdaya. Sesal selalu hadir belakangan dan tangis menyertainya. Dan itu semua tak ada lagi artinya. Sia-sia menangisi tubuh yang telah jadi rongsokan di depan ajal. Yang harus dilakukan hanyalah berserah pada Sang Pencipta, apakah masih mau memperpanjang sebuah kehidupan atau mencabut dengan cepat nafas yang tertanam pada tubuh. Hanya permohonan ampunan dan panjat doa yang tulus yang harusnya ada di saat malaikat pencabut nyawa sudah mengelilingi pandang mata kita.
Dan sebelum malaikat pencabut nyawa itu menyelesaikan tugasnya pada Devitha, sebelum sangkakala di tiupkan untuk memanggil roh Devitha, Salman selalu mengajak istrinya untuk menyerahkan diri seutuhnya pada Tuhan, Salman berupaya membisikkan kalimat untuk membuka pola pikir sang istri untuk terakhir kalinya bahwa Tuhan lah yang berkuasa di dunia ini, dengan demikian hanya doa dan penyerahan diri seutuhnya yang mesti dilakukan Devitha. Pertobatan yang lebih utama yang harus diisi dalam sisa-sisa harinya. Salman mengajak Devitha untuk tidak lagi berpikir pada materi dan hal duniawi yang cuma akan menyesatkan jalan Devitha ketika saatnya telah tiba. Salman dengan lembut memberikan wejangan-wejangan untuk menyadarkan Devitha bahwa dalam hidup ini yang terjadi adalah menurut Bapa di Surga, Tuhan Sang Maha Pencipta, manusia hanya dapat meminta namun seturut perkataan dan rencana Tuhan, bukan rencana manusia.
“Percayalah sayang, hanya Tuhanlah tempat kita sekarang mengadu, hanya Tuhan yang bisa membantu kita, berserahlah padaNya, percayakan semuanya pada Tuhan yang menciptakan kita, maka kedamaian akan menjadi milik kita sayang, kesembuhan akan dirasakan perlahan-lahan, percayalah “ itulah salah satu nasehat Salman kepada Devitha.
Awalnya Salman kesulitan merasuki kekerasan kepala Devitha, tiap kali Salman mengajaknya berdoa, membacakan kitab suci dan sedikit menirukan khotbah para Imam, Devitha menjerit, menangis dan marah karena putus asa, Devitha meyakini bahwa dia pasti akan sehat kembali, namun dengan kesabaran dan kelembutan Salman, dan kondisinya yang semakin terpuruk, lambat laun Devitha mulai mau mendengarkan dan mengikuti ajaran suaminya. Devitha mulai menyadari bahwa semua yang terjadi padanya kini adalah teguran untuk kesombongannya dan seturut rencana Tuhan. Rencana Tuhan yang indah untuk dirinya telah diselewengkannya dengan keangkuhan dan iman yang rapuh, tak pernah bersyukur atas pemberian Tuhan, selalu merasa kurang sehingga harus memforsir diri untuk hal-hal duniawi, Tuhan menjadi nomor terakhir baginya. Akhirnya segala rencana Tuhan tak digubrisnya hanya keinginan-keinginannya saja yang diperbuatnya yang menghasilkan kesakitan yang dirasakannya sekarang. Karena begitu sibuknya dia tanpa mengenal waktu untuk bersyukur pada Tuhan, istirahat, keluarga dan kesehatan, akibatnyalah yang dirasakan kini.
Mungkin Tuhan memang menunggu si jelita Devitha untuk bertobat, Tuhan masih memberikan waktu kepada Devitha untuk memperbaiki kekeliruan pemikiran yang berpengaruh pada kehidupannya, Tuhan masih memberikan kesempatan supaya Devitha membersihkan noda-noda seluruh jiwanya, Tuhan menginginkan Devitha pulang ke rumahNya dengan hati sejelita wajah yang pernah dimiliki Devitha.
Devitha mulai melafalkan doa-doa sepanjang hari. Karena dia sudah tak sanggup lagi untuk membuka dan membaca buku-buku doa, maka dia hanya mencoba mengingat dan mengikuti ucapan Salman yang selalu menemani dan menuntunnya berdoa. Devitha mulai mengikhlaskan apa yang telah terjadi pada dirinya kini. Dia telah menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan, dia mencoba mohon ampunan pada Tuhan dan berharap pintu surga mau menerima ketika ajal sudah menjemput.
Ketika dia belum menerima keadaan dirinya, belum pasrah pada Sang Ilahi, sakit yang dirasakan bagaikan luka yang diberi cuka, dia akan menjerit dan berteriak-teriak. Namun setelah dia menyerahkan diri pada Tuhan, setelah dia berdoa dengan ketulusan hatinya, maka kedamaian yang selalu dirasakan Devitha menyelinap di sudut-sudut batinnya.
Bila rasa sakit menyerang, Devitha selalu menyebutkan nama Tuhan, mencoba menahan rasa yang luarbiasa menyerangnya. Devitha ingin menyilih dosa-dosa yang telah diperbuatnya selama hidup dengan merasakan dan menikmati sakitnya sebagai anugerah yang harus dijalaninya. Dia tak lagi memaki-maki dan menghina Tuhan, tapi dia memanggil Tuhan supaya selalu menyertainya disaat dia merasakan penderitaan akibat ulahnya sendiri yang dirasakannya kini. Baru disadarinya bahwa hidup ini mengandung sebab dan akibat yang datangnya dari diri kita sendiri. Hidup ini juga harus ada keseimbangan disetiap unsur hidup yang dijalani, agar semua unsur berakhir dengan seimbang juga saat waktunya tiba.
Dalam hatinya Devitha memohon ampun pada Tuhan : “ Tuhanku yang pernah tak ku ingat ketika emas melumuri tubuhku, ketika puncak yang tertinggi dapat ku daki, Engkau kutinggalkan bersama anak-anak dan suamiku, .......... tak kuperdulikan jeritan hati suamiku memanggil-manggil untuk kembali saat aku semakin kencang berlari mengejar Harta dan Tahta yang tak dapat ku bawa pulang ketika Engkau memanggilku Tuhan. ...... Ku tulikan telinga ketika Engkau mengetuk pintu hatiku semakin keras untuk menyadarkan aku. AirmataMu menangisi pilihan hidupku bersama iblis-iblis yang menawarkan kenikmatan sesat dalam perjalanan hidup............. Aku telah menyia-nyiakan pemberianMu berupa talenta-talenta yang telah kumiliki, talenta itu telah aku salah pergunakan, membuat aku sombong dan congkak. Aku lupa di atas langit masih ada langit, ........... aku menjadi seperti malaikat karena aku mampu memiliki semua yang ku mau dan telah ku kelilingi hampir seluruh bumi yang telah Engkau cipta ini. ...... Aku menyesali itu semua Tuhan, dan aku tahu Engkau adalah Sang Maha Pemberi Ampunan, untuk itu dalam derita yang kualami ini aku mohon ampunan padaMu Tuhanku. Aku akan mencoba menikmati derita yang kurasakan sekarang karena ini semua bukanlah pemberianMu tapi merupakan kelalaian hidup akibatku sendiri. ..... Ampuni aku Tuhan, atas semua salah dan dosa-dosaku, agar aku layak dan sepantasnya untuk masuk ke RumahMu di Sorga ketika Sangkakala sudah berbunyi dan saatku telah tiba.”
Sambil memohon ampunan pada Tuhan, airmata membasahi mata si jelita, sesal terpancar dari binar matanya yang menyisakan keindahan yang pernah muncul d mata yang lebar itu. Bulu matanya yang panjang dan lentik masih menghiasi mata yang kini cekung dan sayu. Mata yang binarnya tak lagi mampu menusuk hati orang yang menatapnya. Mata yang tak lagi mampu menghipnotis karena kekuatannya sudah rapuh digerogoti kanker yang telah menjalar di sekujur tubuh. Untuk mengusap mata sendu itu saja, lengan-lengan yang sudah mulai kehilangan daging itu tak mampu untuk di gerakkan lagi, terasa lemah dan tak bertenaga, hilang segala kemandirian.
Tinggal suaminya Salmanlah yang dengan haru mengusap mata yang basah itu. Mata yang pernah membelitnya dalam zona cinta yang membara. Mata yang selalu memancarkan hasrat ingin di taklukkan dan mata yang selalu pasrah saat kebinalan cinta mereka mencapai klimaks. Saat Salman mengusapnya dengan penuh kasih, mata yang redup itu mengerjap, menatap suami yang begitu menyayanginya dan kemudian mata itu tertutup, mengalirkan air penyesalan yang tiada habisnya.
Tiga hari sebelum kepergiannya, Devitha merasakan badannya begitu lemah, dia melihat begitu banyak orang di sekitarnya. Dia menjadi sangat takut dan ingin Salman selalu memeluknya dan tidak meninggalkannya. Ucapan Devitha sudah mulai melantur, dia melihat 2 orang anak kecil bermain seruling dan bersayap meloncat-loncat di ruangan itu. Dia melihat beberapa laki-laki berkerudung ada disekitar mereka sedang menatapnya. Devitha sampai tak berani membuka matanya karena ketakutan yang sangat terhadap apa yang telah dilihatnya. Tingkah lakunya yang aneh ini membuat Salman menjadi takut dan gerah karena firasatnya menjadi lain, apakah waktu untuk Devithanya sudah akan berakhir. Kesedihan menyelubungi rongga hati Salman, dadanya serasa di tusuk sembilu membayangkan isteri tercinta akan pergi dari hadapannya. Jika boleh memilih, biarlah Devitha bertingkah buruk dan memaki-makinya, daripada harus tidak bersamanya lagi.
Melihat Salman yang begitu setia mendampingi ketidaberdayaannya ini, timbul rasa kasih yang begitu dalam merasuki hati Devitha, menurutnya Salman tidak boleh menderita seperti ini, Salman tidak boleh sedih melihat keadaannya, Salman harus merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, dan Salman berhak untuk itu. Aku harus menebus kesalahanku padanya pikir Devitha. Bila saatnya tiba, Salman harus mencari seorang perempuan yang bisa memberikan kebahagiaan padanya di sisa usia Salman.
Dan sebelum kehilangan kesadarannya, sebelum elmaut itu menyapanya, Devitha berbicara perlahan dengan terbata-bata kepada suaminya. Anggaplah ini suatu pesan terakhirnya untuk Salman suami yang dengan kesabaran dan kelembutannya telah mendampingi hidupnya selama 20 tahun.
“ Mas, kalau suatu hari nanti aku memang harus pergi, jangan iringi kepergianku dengan airmata, aku tidak mau melihat suamiku yang ganteng, baik hati dan setia harus menangisi jasadku, supaya akupun tidak kembali untuk menghapus airmatamu mas, dan mas harus kuat agar bahu mu dapat menopang kepala ketiga anak kita yang pasti lemah karena melihat ragaku yang sudah tak bernyawa lagi nanti “ desah Devitha perlahan
” Jangan ada kesedihan di wajahmu, mas berhak merasakan kebahagiaan dalam hidup ini, maafkan aku yang terlalu egois, sehingga berjalan seorang diri dan tak menggandengmu menapaki jalan-jalan yang sebenarnya teramat sulit kujalani selama ini ...... Mas harus sekokoh batu karang ketika peti mati ku mereka masukan ke liang kubur, peluk anak-anak kita agar mereka ikut merasakan kekokohanmu itu, aku tidak ingin ada yang sakit ketika mereka menimbun peti matiku dengan pasir-pasir itu “ tersengal devitha dalam berucap, dia terdiam untuk mengambil nafasnya dan mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan bicaranya.
“Dan aku berjanji padamu, saat aku pergi menuju alam baka nanti, setelah 100 hari mas berkabung karna kepergianku, aku akan mengirimkan seorang perempuan yang akan mendampingi sisa-sisa hidupmu, perempuan yang jelita dan ramah seperti pertama kali mas mengenal diriku ... Terimalah dia sayang, untuk menggantikan keberadaanku di hatimu, untuk menggantikan tempatku, sementara aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, untuk melayani dan menemani mu dan juga untuk menjaga anak-anak kita....... Tapi, ketika waktu mas telah tiba, aku akan mohon pada Tuhan untuk menjemputmu dan mengajakmu mas, bersama kita mengelilingi Taman Firdaus kita yang sebenarnya, kita rajut benang kasih kita yang pernah kusut dan hampir terputus karena ego yang telah menguasai seluruh pikiranku...... Mas sekali lagi ampunilah aku, dan aku sangat mencintaimu dari dulu sampai detik ini, maafkan segala kekasaran yang pernah bersenandung dalam perkawinan kita, maafkan atas semua salah dan dosa yang telah kulakukan untukmu, anak-anak kita dan rumah tangga kita, maafkan aku mas” kalimat terakhir diucapkan nyaris seperti bisikan, meleleh air dari sudut matanya membasahi bantal
“Jangan berkata demikian Devitha,” pelan Salman menanggapi perkataan isterinya, “jika kamu memang harus pergi, aku tak ingin sisa hidup kuhabiskan bersama perempuan lain yang mungkin tak dapat membahagiakan aku dan anak-anak kita, biarlah wajahmu yang selalu hadir dalam hatiku dan nafasmu selalu ada dalam denyut jantungku, bagiku kamu adalah aku dan aku adalah kamu, tak ada yang lain bisa memasuki zona di mana cinta kita telah terikat selamanya. “
Dengan lemah Devitha menggeleng untuk membantah ucapan suaminya “ Mas, jangan pernah berjanji apapun ketika peti matiku terkubur dalam tanah kelak, ingatlah pesanku, ini janjiku mas, aku akan mengirimkan seorang perempuan kepadamu, terimalah dan sayangilah dia. “ desah Devitha pelan sekali, nafasnya susah, tersengal setiap kali dia berbicara.
Kemudian dia berkata lagi “ Jangan khawatir dengan suatu kebahagiaan mas, karena itu semua datangnya dari diri kita sendiri, mas kepala rumah tangga, mas yang harus mengatur dan berbuat bijak kepada semua pihak, sehingga kebahagiaan itu dapat teraih, bersikaplah adil padanya dan pada anak-anak kita, sehingga semua saling merasakan kebahagiaan, jadilah satu keluarga yang utuh dan saling menyayangi, “
Devitha terdiam sejenak untuk mengambil nafas yang panjang, Salman hanya terpekur menatap jantung hatinya menjanjikan seorang perempuan untuknya, dan melihat Salman tak bergeming mendengarkan ucapan-ucapannya Devitha berkata lagi “dengarlah kataku ini baik-baik mas, dan jangan pernah menolak janjiku padamu, “
Tak kuasa Salman mendengar ketulusan dari pernyataan istrinya, dipeluknya Devitha dan dengan menangis dia berkata “ Devithaku, kemana Devithaku yang tegar itu, di mana Devithaku yang selalu tersenyum, jangan tinggalkan aku sayang, jangan biarkan aku melangkahi sisa hari-hari seorang diri saja, cintaku selalu untukmu dan hanya untukmu Devitha sayang, jangan pergi “
Kini setelah sudah diambang perpisahan yang nyata, justru Salman yang tidak bisa menerima fakta suatu kematian, justru iman Salman yang mulai goyah, menganggap Tuhan tidak adil pada hidupnya.
“Mas ingatlah, semua bersumber pada Tuhan, mas jangan memintaku untuk tidak pergi dari dunia ini, semua atas rencana Tuhan, kita tidak punya kuasa apapun mas, “ pelan devitha mengingatkan suaminya agar imannya tak goyah hanya karena sebuah perpisahan dengan dirinya. “ sadarlah akan hal itu mas Salman “
Salman hanya mampu menangis dan memeluk sang istri, diciumnya seluruh wajah istrinya, tak ingin rasanya dia melepaskan istri tercinta. Dan ketika puas dia mencium wajah devitha, baru disadarinya Devitha diam dan tak merespon apapun yang dilakukan Salman. Begitu terkejutnya Salman, berteriak-teriak dia memanggil perawat, di bunyikannya bel dengan rasa panik.
“Devitha, tunggulah dulu Devitha, aku ingin mengatakan sekali lagi padamu bahwa aku sangat mencintaimu, aku cinta padamu Devithaku”.
Namun Devitha diam tak bergerak, dia kehilangan kesadarannya. Perawat datang memasang berbagai peralatan di tubuh Devitha. Berbagai macam obat di pasang di infusnya, namun tak mengubah apapun, Devitha semakin lemah. Rasanya sia-sia segala peralatan itu di pasang di tubuhnya, secanggih apapun dunia tekhnologi tapi jika Tuhan sudah menghendaki, terjadilah menurut perkataanNya.
Malaikat pencabut nyawa mungkin sudah lelah berkeliling di sekitar Devitha, begitu juga para malaikat kecil bersayap, sudah lelah bermain di dekat Devitha, mereka sudah tak sabar ingin meniup sangkakala yang selalu mereka bawa kemanapun mereka pergi. Mereka sudah bosan berada di sekitar Devitha dan mesti menunaikan tugas mereka di tempat lain lagi.
Setelah 3 hari Devitha tak sadarkan dirinya, setelah 3 hari dia berpesan pada Salman suami terkasihnya, detak jantung yang lemah semakin lemah, bantuan oksigen dari pihak rumah sakit tak mampu mengalahkan lengan para malaikat pencabut nyawa itu. Akhirnya, saatnyapun telah tiba, nafas Devitha terhenti diiringi tangis suami dan anak-anaknya. Kemolekan tubuh dan wajahnya hanya menjadi kenangan karena telah terbujur dan menjadi pucat pasi. Sebentar lagi musnah menjadi mangsa para cacing di dalam liang gelap.
Devitha yang anggun, molek, pintar dan populer itu, telah pergi dari dunia ini, dan kemana akan berlabuh kita manusia tak akan pernah tahu. Namun semua yang mengenalnya berharap Devitha sudah tersenyum dengan Bapa di Surga, dia telah merasakan kesehatannya pulih, Devitha telah sembuh abadi dari sakitnya, seperti doa-doa yang dipanjatkan oleh suami dan kerabatnya ketika dia sakit, mereka meminta Tuhan memberikan kesembuhan untuk Devitha. Kesembuhan Abadi lah yang didapatnya kini, semoga bersama Bapa di Surga.
Ketika peti mati itu akan dimasukkan ke dalam Liang kubur, Salman berupaya sekuat tenaga untuk tidak menangis seperti pesan Devitha, dia memeluk ketiga anak-anaknya, dia berusah tegar menghadapi pemakaman Devitha. Salman mencoba melihat ke langit, di sanakah Devithanya sekarang berada, dia hanya mampu mereka-reka, tak mampu menyingkap Rahasia Tuhan.
Ditatapnya langit sampai tapal batasnya “Devithaku, tunggulah aku di sana, sampai waktuku tiba, jemputlah aku sesuai janjimu” ujarnya dalam hati.
EPILOG artinya bagian penutup dalam karya sastra.
Dalam cerita ini maksud dari EPILOG adalah : episode terakhir atau bagian terakhir.
Epilog Sang Jelita artinya Bagian terakhir kehidupan seorang perempuan cantik
Catatan :
- Cerita ini hanya fiktif, kalau ada kesamaan dengan kisah pribadi org merupakan suatu kebetulan saja
- Mohon tidak menjiplak apa lagi mengutip cerita ini... hargai sebuah hasil Karya
- Terimakasih anda sudah membaca tulisan karya saya, segala saran dan kritik sangat diperlukan
- Berkaitan dengan foto-foto yang di tampilkan, hanya sebuah hasil karya seni fotografi
2 komentar:
Mantap. ...mabak.
thanks bro
Posting Komentar